Minggu, 04 November 2012

Tangis Dalam Sepi: Malam Biru


Halo! Joan hadir dengan membawa coretan abal lagi nih HAHA -_- Ini cerita fiksi yang bener bener masih fresh. Baru aja gue buat. Sebenernya ini pengganti request-an lia yang waktu itu, maap gabisa buat yang lo mau ya ._.

Check it out aja deh pokonya.


Chapter One; Malam Biru.


Kiara berdiri mematung diantara ratusan tamu yang datang di gedung pertemuan itu. Sesekali ia menjinjitkan tumitnya, terhalang ratusan kepala yang menyemarakkan dan memadati ruangan tanpa sisa celah sedikit pun. Lengkung senyum di bibirnya melebar, semoga acara kali ini berjalan lancar.

Ia kembali melihat list diatas papan jalannya, seakan khawatir ada yang terlewat. Ia ingin semua berjalan sempurna. Untuk yang sekian kalinya, ia sibakkan untaian rambut yang menghalangi kedua mata indahnya.
Semua pendukung acara telah hadir di backstage, bagian lighting dan property juga sudah, para tamu pun telah hadir memadati gedung. Sempurna. Ukir senyum itu kembali muncul, bahkan lebih lebar.

Langkah Kiara berubah gontai, senyumnya pun sudah hilang entah kemana. Hatinya meletup-letup, desir angin malam seakan menampar wajahnya. Perih.

Rama tengah berdiri di hadapannya saat itu. Bukan, bukan hanya Rama. Kiara mendesah, mereka sempurna. Terlihat saling mengisi satu sama lain. Seseorang yang membalut dirinya dengan gaun merah-hitam yang memesonakan mata, berdiri di samping Rama.

Derai tawa mereka terhenti, sesaat setelah langkah kaki telah menapaki karpet merah dimana Kiara berdiri.
Hening menyelimuti untuk sesaat. Hanya tatapan yang berbicara. Tatapan kosong satu sama lain yang mengisi dalam kegemuruhan riuh suara ratusan kaki yang menapaki lantai gedung itu.

“Uhm, Ra. Semua udah siap, kan?”
Kiara mendehem, menyadarkan pikirannya yang sesaat terbang entah kemana. Ia mengangguk.

“Kalian harusnya udah siap di backstage. Biar aku yang urus semuanya,” Bianca tersenyum, dengan tiba-tiba ia mengambil list acara yang sedari tadi Kiara rengkuh erat.

-

Rama masih saja terpaku menatap Kiara yang baru saja melangkahkan kakinya keluar dari ruang wardrobe. Untaian rambut Kiara yang tergerai alami memesonakan mata, belum lagi Kiara yang tidak tampil seperti biasa malam itu, ia biarkan wajahnya terbalut sepuhan make-up di bawah keremangan lampu panggung.

Sebaliknya, Kiara melangkah gontai saat mendapati warna wajah Rama yang aneh. Ia merasa kikuk saat manik mata mereka saling bertemu. Seakan berbicara dalam sepi.

Rama menengadahkan tangannya, menawarkan genggaman hangat di tengah suhu ruangan yang menusuk tulang. Bukan hanya senyuman yang ia dapat, tapi juga kepercayaan Kiara untuk menautkan tangannya bersama Rama.

♪ Why does it hurt so bad
Why do I feel so sad
Thought I was over you
But I keep crying
When I don’t love you
So why does it hurt so bad
I thought I had let you go
So why does it hurt me so
I gotta get you outta my head
It hurts so bad ♪

Sebuah lagu lama yang dipopulerkan Whitney Houston melantun indah dari bibir Kiara. Diiringi petikan gitar Rama, benar-benar sebuah picisan yang manis.

Setiap iringan nada, melodi, dan irama yang mengalun seakan mengiringi Kiara menelusuri kembali setiap memori yang telah ia lalui, menerjang semua angan yang hanya akan menjadi harap.

Apakah benar dia yang menjungkirbalikkan dunia Kiara? Apa benar ialah desir angin yang mengelus dan menampar wajahnya secara bersamaan? Apakah benar dia adalah dia. Ya, dialah Rama. Semua alasan dibalik sejuta ilusi yang tak pernah menjadi nyata. Semua alasan Kiara menengadahkan senyum ke atas bulan purnama setiap malam. Semua alasan Kiara menorehkan untaian kata manis di secarik kertas yang akan hanya berakhir terselip atau tergeletak begitu saja.

Ia pejamkan matanya erat, melancarkan aliran air yang jatuh tetes demi tetes dari pelupuk matanya. Ia sungguh tidak dapat membendung semuanya lagi. Tidak dapat lagi menutupinya dengan seukir senyuman. Tidak dapat lagi menyembunyikan cinta yang meletup-letup di dinding hati. Seluruhnya tumpah.

Rama terperangah disisi lain, saat ia memutar pandangan ke arah Kiara. Ingin sekali ia hapus tangisnya, merengkuhnya di bahunya. Namun siapa lah dia, yang berani menawarkan segenggam harap untuknya. Ia takut, harap itu hanya akan menjadi harap kosong yang tak pernah nyata.



Bersambung.



0 komentar:

Posting Komentar