Sabtu, 17 November 2012

Tangis Dalam Sepi: Bersemi di Toko Bunga


Halooo! Ini dia chapter two-nya keluar jengjeng~ selamat membaca! ^-^


Tangis Dalam Sepi. Originally by: Joan Pemila

Chapter Two; Bersemi di Toko Bunga


Langit biru cerah bertahtakan taburan bintang, bulan penuh yang kembali berganti posisi dengan matahari, serta suara jangkrik yang mengisi keheningan; membuat malam kian membiru.

Kiara membenamkan wajahnya, merengkuh erat kakinya. Tak peduli dengan suhu Paris di musim gugur ini, ia biarkan tubuh mungilnya dibelai semilir angin kencang.

Terus saja berlari. Detak jantungnya masih saja mengejar bayangan Rama. Nyata dan maya tak berbeda. Semua harap yang tak pernah nyata terbawa arus menepi. Masih sama, langkah Kiara berhenti pada dua pilihan yang sama-sama tak pasti. Terombang-ambing dalam kebimbangan. Apa ia harus terus mengejar ilusi yang bersembunyi di balik mendung, atau melepaskan bayangan Rama yang terus berlari tak tentu?

“Aku ingin wajah yang merona itu kembali,” Kiara memalingkan pandangannya sesaat setelah batinnya mendapati suara itu. Tatap matanya masih kosong. Tak bernyali untuk sekadar memastikan sosok di balik punggungnya.

“Aku mau Kiara-ku yang dulu, cuma itu.” Suara bariton itu masih disana. Disaat itu juga Kiara masih membungkam dalam diam.

Langkah gontai Rama semakin mendekat. Perlahan, ia meraih kepala Kiara. Lalu, direngkuhnya erat.
“Aku tak pernah punya alasan untuk marah pada Tuhan. Tapi aku bisa apa jika takdir bertentangan dengan apa yang kumau.”

“Biarkan segalanya terus mencari takdir jika itu yang harus menyudahi semuanya,” ujar Kiara lirih. Matanya terpejam, sama-sekali tak ingin melihat wajah seseorang yang telah menghabiskan waktu bersamanya semenjak 13 tahun lamanya.

“Kadang aku bingung, kenapa bisa aku merindukan sosok yang sama sekali bukan hak-ku. Bahkan punya orang lain.” Perlahan, ia lepaskan rengkuhan Rama di tubuhnya.

Rama menatap Kiara lirih, begitu sebaliknya.



Jika kau mendengar detak jantungmu, maka yakinlah orang yang kau cintai akan mencintaimu juga.

If i’m not made for you then why does my heart tell me that I am?

Mengapa tak beranjak pergi? Nama kamu, Ra, hati aku tak berhenti mengeja nama kamu.

Kelak, aku hanya ingin mencintai satu orang seumur hidup. Walau ia bersama orang lain, aku akan tersenyum bahagia di balik sana.

Karena setiap senyum yang terukir, semakin yakin jua jika aku telah menemukanmu.



Kiara menutup wajahnya kuat-kuat dengan kedua telapak tangannya. Cukup sudah. Semua memori, angan, dan harap bercampur di kepalanya seakan memperebutkan tempat di sana.

“Ra, aku akan bertunangan dengan Bianca besok.”


-


08.00. Bandung, Indonesia.


Pagi membawa pesan-pesan baru dari semesta. Udara dingin Paris Van Java seakan menambah kesegaran di pagi hari. Matahari kembali menggantikan posisi sang rembulan, dengan indahnya memancarkan kemuning sinarnya. Kicau burung menambah semangat untuk memulai hari.

Rama menarik nafasnya dalam-dalam, menikmati udara kampung halamannya yang telah lama tidak ia jamahi. Rasa rindu yang hinggap di hati, membuatnya mengakhiri keputusan untuk sejenak berlibur di Bandung.

Senyuman di ujung bibir tipisnya makin melebar, semakin kencang pula ia kayuh pedal sepeda ontel yang memang disewakan untuk turis.

Cittt. Ia mengerem sepedanya dengan tiba-tiba, saat kedua matanya mendapati wanita tua menyeberang jalan dengan membawa seikat bunga mawar merah. “Maaf, Nyonya,” ucapnya sopan.

Mawar merah? Tiba-tiba ia teringat akan Ibunya, beliau sangat menyukai mawar merah. Halaman rumahnya pun sebagian besar dipenuhi bunga mawar aneka warna. Rasanya agak janggal jika ia tak membawa apapun untuk Ibunya yang tersayang.

Rama tersenyum lebar—memamerkan deretan giginya yang berjejer rapih, sambil memandang plang sebuah florist. Katarina Florist.

“Iya, coba kau cari lagi vas-nya. Aku yakin pasti ketemu, aku baru saja membelinya.”

Rama mendapati seorang wanita yang tengah menyusun bunga dengan apik. Walaupun ia membelakanginya, Rama yakin ia adalah pemilik dari florist ini. Aneh memang, suaranya terdengar masih belia dan........familiar.

Ia mencoba membunyikan bel di depan pintu, semata-mata agar wanita itu menyadari kehadirannya.

“Sudah ketemu ‘kan?” Ia membalikkan tubuhnya.

Tenggorokan Rama tercekat seketika. Begitu pula wanita tadi, warna wajahnya berubah pucat. Sepersekian detik kemudian, ia mendehem. “Selamat datang. Ada yang bisa kami bantu?”

“Karangan bunga,” jawabnya singkat. Bola matanya masih tertuju pada sosok berambut sebahu, bertubuh jenjang, berkulit layaknya porselen.

“Untuk siapa?”

“Mama. Kebetulan saya lagi jenguk Mama,” Rama akhirnya melepaskan pandangannya yang daritadi melekat pada wanita itu. Kini ia berjalan mondar-mandir, menentukan pilihan pada beberapa karangan cantik yang dipajang.

Wanita itu mengangguk pelan. Ia pun masih janggal akan sosok di depan matanya ini.

“Ini?” Ia menawarkan sebuket mawar putih yang telah dihias cantik, lengkap dengan pita warna senada.

Rama menggeleng. Entah mengapa, ia masih saja belum bisa menentukan pilihan.

Wanita itu kembali menunjuk ke salah satu karangan bunga lain. Kali ini bunga lili warna putih. Namun Rama hanya merespon dengan gelengan.

Sepersekian detik kemudian, Rama menunjuk sebuket mawar merah di belakang wanita tadi. “Yang itu.”

Sang wanita menggigit bibir bawahnya. “Maaf, itu pesanan pelanggan lain.”

“Aku tak peduli,” Rama menatap dalam-dalam manik mata wanita muda itu. “Aku mau yang itu.”

“Tidak bisakah kau lihat koleksi kami yang lain?” ujarnya pelan, salah tingkah karena terus ditatap seperti itu oleh Rama.

“Aku tetap akan membeli yang itu.”

“Berapapun harganya?” Ia mulai kesal akan kelakuan Rama.

“Berapapun.”

“Lima.”

“Lima ratus ribu?”

“Lima juta.” Rama terperangah. Ia mengalihkan pandangannya, lalu tertawa sinis.

“Aku bukan orang beruang, Nona.”

“Aku tak peduli. Aku tetap mau begitu.” Kali ini ia mengikuti kata-kata Rama sebelumnya.

“Lima. Lima juta. Baik. Uangnya akan ditransfer nanti.” Rama tak mau kalah.

“Dan, bolehkah kuminta secarik kertas,” Manik mata mereka kembali bertemu. “Nona?”

Wanita itu berbalik dengan semburat merah di pipinya. Aneh, sungguh aneh. Siapa lelaki itu? Kenapa bisa begini?

“Aku mau kau tulis sesuatu disana,” Rama memberikan pulpen yang telah ia siapkan di saku kemeja biru langitnya.

“Apa?”

“Terserah. Kata-kata mutiara mungkin,” Dengan cekatan, ia torehkan kata demi kata sesuai permintaan Rama.

Bukalah telingamu. Jika kau mendengar detak jantungmu, lalu yakinlah orang yang kau cintai akan mencintaimu juga.

Sekali lagi, tenggorokannya tercekat. Kalimat itu terasa tidak asing lagi.

“Tandatangani.”

“Ya?”

“Tandatangani untukku.”

Sabtu, 21 Januari 2012.
Kiara Katarina.

“........”

“Maaf?”

“.......”

Rama meraih punggungnya, merengkuhnya erat seperti tiada lagi hari esok. “Ra.....”

Tatapan wanita itu kosong, saat Rama menyandarkan kepalanya di dadanya. Ia semakin tak mengerti dengan semua ini. Apa yang terjadi, ia belum bisa menyimpulkan semuanya.

-





To be continue.




0 komentar:

Posting Komentar