Rabu, 17 Oktober 2012

Seukir Senyum Di Ruangan Biru

Hai. Nah ini salah satu cerpen yang gue buat, untuk tugas Bahasa Indonesia. Agak alay dan abalan sih. Tapi yaudah lah, kalo suka ya baca kalo gasuka ya maaf ga sesuai yang diharapkan. Perlu nge-disclaim juga bahwa ini orisinil buatan gue ya, Joan Pemila. Enjoy guise :)



-Seukir Senyum Di Ruangan Biru-

23.45
Kulirik jam yang terus berdetak mengisi keheningan malam. Hampir setengah jam sudah aku mencoba memejamkan mataku. Aku menarik selimutku ketika kurasakan bulu kudukku berdiri, merasakan dinginnya malam yang kian menusuk sampai ke tulang. Dengan terpaksa, kupejamkan mataku erat. Aku harus siap menghadapi ujian besok.

07.00
Kulangkahkan kakiku mantap memasuki ruangan biru besar dimana aku akan melaksanakan ujian tertulis selama sepekan ini. Bel berbunyi dengan kencangnya, seiring dengan kerumunan orang yang mendesak masuk. Aku mendesis, ketika kurasakan tubuhku hampir tersungkur saat seorang laki-laki berbadan besar mendorongku.

Kutorehkan pensil ku tebal-tebal saat mengisi lembar jawaban, tentu saja dengan sangat hati-hati. Aku tidak mau sampai ada kesalahan, ini ujian akhir semester, aku ingin memberikan yang terbaik. Semoga saja semua usaha dan doa ku tidak sia-sia.

08.37
“Waktunya masih setengah jam lagi,” Aku mendengus. Sungguh bosan, aku masih harus menunggu lagi padahal lembar jawaban ini sudah terisi semua, gumamku sambil mengetuk-ngetuk meja kayu di hadapanku. Kulayangkan pandanganku ke seisi ruangan. Peserta lain masih terlihat sibuk dengan kertas mereka masing-masing.

“Sssttt,” Kurasakan seseorang menepuk bahuku pelan. Deg, rasanya jantungku berhenti berdenyut. Sungguh. Lalu kurasakan ia berdetak lagi. Aku juga bisa mendengar darah menderu di telingaku. Mataku hanya terpaku padanya. Ingin sekali kusapa balik dirinya, namun lidahku kelu. “Boleh kupinjam pulpen itu?” Aku hanya dapat mengangguk kecil, masih belum bisa berkata sepatah kata pun.

“Silahkan kumpulkan kertas kalian.” Bodoh. Kau bodoh. Aku merutuki diriku sendiri saat melihat ia keluar dari kelas hingga punggungnya hilang, meninggalkanku sendiri yang masih terpaku di ruangan biru ini. Aku tak pernah melihat senyum semanis itu, meski itu dalam mimpi.

-

16.20

Tak seperti biasanya, hujan turun dengan lebatnya. Seolah menandakan suasana hati yang berduka. Seolah menemani insan yang tengah bermuram durja. Awan yang hitam kelam seakan menjadi pelengkap, ikut mengisi suasana hati yang sunyi dan kosong.

Seiring berjalannya waktu, aku sudah mengetahui namanya. Namanya tentu saja indah, seindah senyumnya. Ia seorang yang cerdas di kelasnya, baik, dan sangat humoris. Begitu kata temanku yang mengenalnya baik.

Bisa dikatakan aku telah mengenalnya dengan baik, meski tak dapat kupastikan ia mengingatku. Apalagi mengenalku. Aku benar-benar tidak bisa berharap lebih. Tak sampai sebulan lagi, ia akan menghadapi ujian akhir. Tentu, aku senang. Ia bisa melanjutkan pendidikannya ke taraf yang lebih tinggi, setinggi cita-citanya.

Disisi lain, aku hanya seorang manusia yang egois. Aku tidak ingin merelakannya pergi. Aku ingin kembali melihatnya, senyumannya. Aku ingin ia tetap disini.

Aku memasuki ruangan biru ini dengan langkah yang terseok. Disini, pertama kalinya aku melihatnya, melihat senyumannya, juga jatuh padanya. Aku akan sangat merindukan senyuman itu. Ya, seukir senyuman di ruangan biru.




0 komentar:

Posting Komentar